Harga Sebuah Percaya

16 Oktober 2024 di Novel oleh Amelia Zahara7 menit

Harga Sebuah Percaya

“Lihatlah, Jim, Pate!” Laksamana Ramirez maju mendekati salah satu pohon pisang, mengangkat pedangnya, menebasnya.

“Hanya sedikit orang di dunia ini yang tahu, pohon pisang tidak akan pernah mati walau ditebas ribuan kali. Ia akan terus tumbuh, merekah daun-daun baru. Lihatlah, pohon ini akan menumbuhkan pelepah daun barunya esok atau lusa. Karena itulah janji pohon pisang. Ia tak akan pernah mati sebelum berbuah. Sekali ia berbuah, maka saat kau tebas batangnya, pohonnya akan mati, akarnya akan layu.

“Begitu-pula-lah seharunya dongeng kita. Berjanji-lah tak akan pernah mati sebelum menyelesaikannya. Tidak akan. Sekali kita berhasil menyelesaikan-nya, maka tak masalah maut menjemput kapan saja.” Jim dan Pate terdiam.

Laksaman Ramirez tersenyum datar,“Semua dongeng di dunia ini nyata, teman. Senyata kau, Jim dan aku sekarang berdiri di sini. Semua dongeng yang turun-temurun diceritakan oleh kakek, ayah, ibu, tulisan-tulisan, buku-buku, adalah benar, sebenar kau bisa melihat dan merasakan hujan ini membasahi muka. Semua kisah itu pernah digurat oleh entah siapa manusia terpilih sebelumnya, disampaikan turun-temurun oleh orang tua-orang tua kita.”

“Masalahnya semakin lama orang-orang semakin disibukkan oleh akal sehat dan rasio. Dikalahkan oleh rutinitas dan ketakutan akan hidup itu sendiri. Dibutakan oleh batasan-batasan sesuatu yang masuk akal dan tidak masuk akal. Maka hilanglah kepercayaan atas dongeng-dongeng itu.”

Sang penandai tersenyum.

“Tahukah kau, anak-ku. Setiap kali seorang anak terpilih untuk menjalani kisah-kisah ini, maka seluruh semesta menggabungkan diri berharap dan membantunya. Setiap kali seorang anak manusia memutuskan untuk mewujudkan mimpinya, seluruh semesta alam sepakat menunjukkan jalan-jalannya.”

Jim menyeringai kalah. Tidak ada jalan-jalan tersebut. Tidak ada lagi. Aku sudah gagal melakukan perjalanan ini.

“Kau keliru, Jim. Kau berhasil dengan baik menyelesaikan dongeng itu dengan baik.”

“APANYA YANG SELESAI?

“Aku yang sekarang tergantung antara hidup dan mati. Yang di penghujung kematian masih saja tak kuasa mengenang semua masa lalu itu dengan bibir menyungging senyum. Yang di penghujung kematian masih hidup dalam penyesalan. Apa ini disebut dengan ujung yang baik? Mengapa aku tak mengiris nadi-ku saja dengan pisau apel kala itu? Mengapa tidak dari dulu!”

Jim berteriak parau dengan sisa kesadarannya. Kalimat tanpa suara, tanpa ekspresi wajah karena tubuhnya sudah kebas. Teriakan dalam hati. Yang terdengan lebih memilukan.

Sang penandai terdiam. Air dari langit-langit gua menetes berirama, mengisi keheningan malam di ruangan yang basah, lembab dan menjijikkan tersebut.

“Sebenarnya, itulah dongeng yang harus kau jalani, Jim. Itulah bagian terpentingnya. Bagaimana kau bisa melanjutkan hidup-mu meski harus menanggung beban masa lalu-mu. Dan inilah ujung dongeng-mu tersebut.”

Jim mendengus. Dadanya sesak.

“Tahukah kau, anakku, ada miliaran orang di dunia ini yang setiap hari mengalami kejadian seperti-mu. Menemukan cinta pertama yang menggelora, menemukan cinta sejati mereka. Sayangnya, hanya satu dari seribu yang benar-benar bisa mewujudkan mimpi cinta pertama yang hebat itu. Sisanya? Ada yang bisa keluar dari jebakan perasaan itu secara baik-baik karena Pemilik Semesta Alam sedang berbaik hati, ada yang berpura-pura bisa mengikhlaskannya pergi.

“Mereka berpura-pura bilang kepada semua orang kalau ia telah berhasil melupakannya. Pura-pura berlapang dada melepaskannya, tapi apa yang terjadi saat ia tahu sang kekasih pujaan telah bertunangan atau menikah dengan orang lain. Sakit Jim, hati mereka berdengking sakit. Saat mereka tak sengaja dipertemukan lagi, hati mereka juga sakit. Karena mereka berpura-pura.”

Sang penandai menghela napas.

Jim mendengarkan dengan dada yang semakin sesak. Ia tahu persis maksud sang penandai, berpura-pura.

“Kau memang ada di satu titik kisah yang berlebihan, Jim. Nayla-mu memutuskan bunuh diri. Bagi orang lain, kekasih sejatinya pergi karena pertengkaran, cinta pertamanya pergi karena masalah sepele, atau mungkin juga ia tak pernah berani mengungkapkannya, pengecut, terhadang tembok penghalang apapun itu bentuknya.”

“Diungkapkan atau tidak mereka sudah memiliki perasaan tersebut. Mereka sudah terjebak masa lalunya yang sama seperti kau, perbedaannya kau ditakdirkan menjalani dongeng ini, menunjukkan kalau kita selalu bisa berdamai dengan masa lalu. Berdamai dengan perasaan itu. Apakah kau tetap tak bisa berdamai dengan masa lalu itu, anak-ku?”

Sang penandai menatap Jim, lamat-lamat.

Jim menggeleng, kalah. Bagaimana ia akan berdamai kalau ia tak kunjung bisa memaafkan dirinya, terlalu takut membawa Nayla-nya lari dari tembok penjara rumah orangtuanya, ia-lah yang membuat Nayla-nya bunuh diri.

“Kau keliru, Jim. Kau tidak akan pernah bisa berdamai dengan masa lalu-mu jika kau tidak memulainya dengan memaafkan diri sendiri. Kau harus mulai memaafkan semua kejadian yang telah terjadi. Tidak ada yang patut disalahkan. Ini bukan salah orang tua Nayla, pemburu bayaran Beduin, atau Pemilik Semesta Alam yang menakdirkan segalanya. Kau justru harus memulainya dengan tidak menyalahkan diri-mu sendiri.”

Sang penandai tersenyum.

“Apakah dengan demikian kau bisa segera melupakan Nayla? Belum. Sayangnya belum. Untuk bisa sempurna berdamai dengan masa lalu itu kau juga harus menerima semua kenangan itu. Meletakkannya di bagian terpenting hati-mu, memberikannya singgasana dan mahkota. Karena bukan kah itu semua kenangan yang paling indah? Paling berkesan. Paling membahagiakan.”

“Ah, kau pasti bertanya jika ia memang kenangan paling indah, mengapa kau selalu pilu mengenangnya. Mengapa? Karena kau tidak pernah mau menerima kenyataan yang ada. Kau selalu menolaknya. Seketika. Tak pernah memberikan celah pada hati untuk berpikir dari sisi yang lain. Kau membunuh setiap penjelasan. Tidak sekarang, kau membunuh penjelasan itu esok pagi. Tidak esok pagi, kau bunuh penjelasan itu esok lusa.”

“Masalah penerimaan itu bukan sesuatu yang sederhana. Banyak sekali orang-orang di dunia ini yang selalu berpura-pura. Berpura-pura menerima tetapi hatinya berdusta. Kita semua harus berlatih susah-payah untuk belajar menerima. Apakah itu sulit? Tidak, Jim. Itu mudah. Tetapi kau memang tak pernah memulainya. Kau justru terjebak dalam lingkaran penyesalan. Tidak boleh, anak-ku, urusan ini tidak boleh melibatkan walau sehelai sesal.”

Sang penandai menarik napas dalam.

Jim tertunduk, menangis. Sang penandai benar, dirinya tidak pernah mau berdamai dengan kenangan-kenangan itu. Ia selalu menolak keras-keras setiap kali hatinya berusaha mengenag semuanya. Setiap kali ia berusaha melupakannya, jutsru hatinya semakin keras melawan. Ia selalu menyesali segala keputusan yang pernah dibuatnya. Ia selalu menyumpahi dirinya tak berguna.

Tangisan tanpa suara Jim mengeras. Sang penandai lembut menyentuh bahu-nya, menenangkan. Hujan di luar semakin deras. Badai melanda belantara hutan tersebut.

“Ada satu rahasia kecil yang akan aku ungkapkan sekarang. Kau tahu, Jim, kau bisa saja menghentikan dongeng ini saat di lereng Puncak Adam itu, kau bisa memanggil-ku dan menyelesaikan semuanya. Dan kau akan menerima hadiah atas separuh perjalanan. Gadis pemetik dawai itu.”

“Tetapi kau benar, kau memilih terus. Kau tahu, sepanjang kau tetap tak bisa mengenyahkan perasaan bersalah-mu kepada Nayla, dalam kurun waktu tertentu saat kau teringat kembali dengan Nayla kau akan mengenangnya dengan hati terluka, dan itu juga akan melukai hubungan-mu dengan gadis pemetik dawai itu. Ah Jim, tak ada kebahagiaan di dunia ini jika kau masih memiliki satu rasa sesal dalam hidup-mu, sekecil apapun penyesalan itu.”

“Kau juga bisa menghentikan dongeng ini di Kota Champa. Mengambil perjodohan itu. Anak gadis yang cantik, bukan? Sempurna seperti Nayla. Kau bisa memutuskan berhenti di sana. Bahkan tak perlu memanggil-ku. Dan kau akan menerima hadiah hebat. Anak-anak-mu akan tumbuh sehat, gagah perkasa, menaklukkan depalan kerajaan di sekitar mereka. Di usia senja-mu kau akan melihat betapa hebatnya kerajaan yang kau pimpin. Tetapi kau benar, kau memilih terus.”

“Dalam kurun waktu tertentu, entah itu apa pemicunya, apa penyebabnya kau pasti akan teringat kembali dengan Nayla. Dan saat kenangan itu mucul lagi, hatimu terluka lagi. Kau menyesalinya. Sekali lagi apalah arti kehidupan, tidak peduli seberapa luas kerajaan yang kau miliki, jika di hati masih terbetik sebuah penyesalan. Kau benar soal itu. Dan kau meneruskan perjalanan, bahkan hingga ke dalam pedalaman hutan rimba yang tidak pernah disentuh dunia luar.”

“Nah, anak-ku, kau sudah berada di ujung dongeng ini. Dengarkan lah orang tua ini, kau bisa mengakhiri dongeng ini dengan indah, Jim. Malam ini, berdamailah dengan masalalu-mu. Lakukan dengan sungguh-sungguh. Pecinta sejati tidak akan pernah menyerah sebelum kematian itu sendiri datang menjemput dirinya. Dan saat kematian itu benar-benar datang kau bisa menjemput-nya dengan menyebut nama Nayla di ujung bibir-nya. Kau bisa mengakhiri dongeng ini dengan indah, Jim. Maka hadiah hebat telah menunggu kau setelah itu.”

Jim tergugu, tubuh tergelangtung itu bergetar.

“Lihatlah, Jim, Pate!” Laksamana Ramirez maju mendekati salah satu pohon pisang, mengangkat pedangnya, menebasnya. “Hanya sedikit orang di dunia ini yang tahu, pohon pisang tidak akan pernah mati walau ditebas ribuan kali. Ia akan terus tumbuh, merekah daun-daun baru. Lihatlah, pohon ini akan menumbuhkan pelepah daun barunya esok atau lusa. Karena itulah janji pohon pisang. Ia tak akan pernah mati sebelum berbuah. Sekali ia berbuah, maka saat kau tebas batangnya, pohonnya akan mati, akarnya akan layu.

“Begitu pulalahseharunya dongeng kita. Berjanjilah tak akan pernah mati sebelum menyelesaikannya. Tidak akan. Sekali kita berhasil menyelesaikannya, maka tak masalah mau menjemput kapan saja.”

Jim dan Pate terdiam.

ReferensiDiambil dari buku berjudul ‘Harga Sebuah Percaya’ karangan Tere Liye, dikutip pada hlm. 258-260 dan hlm. 278-284